Babak Baru Isu Bea Masuk Brompton Sri Mulyani

Masalah ini berawal dari masuknya dua sepeda Brompton pada November 2019 yang lalu dari Doha tanpa kelengkapan dokumen perizinan. Sepeda itu datang bersama rombongan Kementerian Keuangan yang kemudian menyeruak isu bahwa sepeda itu milik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Nah yang diperkarakan kembali saat ini adalah perkara itu disudahi tanpa adanya penetapan siapa yang menjadi tersangkanya.

 
Wakil Ketua LP3HI Kurniawan Adi Nugroho mengaku akan menyerahkan tutuntuan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penghentian penyidikan tindak pidana bidang kepabeanan pada pengiriman sepeda Brompton dalam rombongan pemerintah RI.

"Besok kita daftarkan itu. Tapi saya sudah share soft copy-nya duluan," tuturnya kepada detikcom, Selasa (18/5/2021).

Kurniawan menjelaskan pihaknya dalam kasus itu penyidik Ditjen Bea Cukai telah menyita dua sepeda Brompton yang menjadi akar perkara. Sepeda itu datang pada November 2019 dari Doha yang menurutnya tanpa dilengkapi dokumen perizinan impor barang.

"Kejadiannya kan 11 November 2019 dan itu diakui oleh pejabat di Kementerian Keuangan, Pak Syarif Hidayat kan sudah mengakui itu dan memang ada. Kemudian barang itu dikuasai oleh negara sekitar September 2020, kemudian dimiliki oleh negara Februari 2021," terangnya.

Menurut Kurniawan dalam rangkaian kejadian tersebut, sepeda Brompton tersebut disita dari pemiliknya. Dia menilai jika benar seperti itu seharusnya ada pihak yang merupakan pemilik dijadikan tersangka.

"Nah ini kan nggak terjadi, harusnya ditentukan dulu siapa yang bertanggung jawab terhadap ini. Bahwa kemudian nanti dihentikan oleh jaksa agung, itu nanti, tapi tentukan dulu siapa tersangkanya. Penyidikan kan output-nya adalah siapa tersangkanya," tegasnya.

Kurniawan lalu menyamakan kasus tersebut dengan kasus penyelundupan Harley-Davidson dan barang berharga lainnya yang dilakukan oleh petinggi Garuda Indonesia beberapa waktu yang lalu.

"Itu konstruksi kasusnya sama persis. Bedanya hanya kapan barang itu dikuasai negara. Kalau Harley itu pada saat tertangkap tangan dia langsung dikuasai negara, tersangkanya baru ditentukan kemudian. Tapi tersangkanya kan ada. Di dalam kasus Brompton ini barangnya disita oleh negara tapi tersangkanya tidak ada, kan nggak mungkin. Itu yang kemudian kami ajukan praperadilan," tegasnya.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan sebelumnya telah membantah isu tersebut. Ditegaskan bahwa dua sepeda Brompton tersebut bukan milik Sri Mulyani melainkan kepunyaan salah satu anggota rombongan.

 
 

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC, Syarif Hidayat pun buka suara. Dia menjelaskan bahwa tidak ada penyidikan dalam polemik masuknya dua sepeda Brompton itu. Sebab perkara itu merupakan pelanggaran administrasi bukan tindak pidana penyelundupan.

"Tidak ada penerbitan penyidikan karena ini adalah pelanggaran administrasi," ucapnya saat berbincang dengan detikcom.

 

Syarif menegaskan karena bukan penyidikan, maka tidak ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya pelanggaran administrasi sering terjadi ketika warga negara Indonesia pulang dari luar negeri dan membawa barang tanpa memenuhi persyaratan yang berlaku karena ketidaktahuannya.


"Dalam hal ini yang bersangkutan ini membawa dua buah sepeda Brompton dari luar negeri, dia memberitahukan. Lalu petugas di lapangan meminta dia untuk melengkapi persyaratan impor dari Kementerian Perdagangan. Izin impornya. Karena tidak boleh membawa dua sepeda begitu saja. Sebetulnya kalau membawa satu ada pengecualian, bisa bayar bea masuknya," terangnya.Dia kembali menjelaskan bahwa dalam perkara itu ada pihak yang mengakui membawa dua sepeda Brompton tersebut. Dia juga mengakui dengan mengisi dokumen customs declaration.

Kemudian setelah pemilik sepeda Brompton tersebut diminta untuk memenuhi persyaratan izin impor dari Kemendag, kedua sepeda Brompton itu ditahan di gudang DJBC. Hal itu sekaligus mengklarifikasi tanggapan bahwa kedua sepeda itu sempat digunakan oleh pemiliknya selama 10 bulan.

"Nah ketika tidak ada izin, barangnya ditahan, bukan disita. Sambil menunggu yang bersangkutan melengkapi. Karena tidak melengkapi juga akhirnya barang tersebut menjadi barang dikuasai negara (BDN)," ucapnya.

Penetapan BDN itu dilakukan sekitar September 2020. Hal itu dilakukan karena pemilik sepeda Brompton tersebut tak kunjung datang untuk menyertakan izin impor dari Kemendag. Setelah itu pada 11 Februari 2021 sepeda tersebut ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN) dengan disudahinya persoalan tersebut.

Syarif menegaskan bahwa yang terjadi itu merupakan pelanggaran administrasi. Sebab yang bersangkutan memberitahukan dan mengakui membawa sepeda Brompton. Sehingga pihaknya tidak melakukan penyidikan.

Dia kemudian menjelaskan bahwa kasus ini berbeda dengan kasus penyelundupan Harley Davidson dan barang berharga lainnya yang dilakukan oleh petinggi Garuda Indonesia beberapa waktu yang lalu.


"Garuda itu jelas-jelas yang bersangkutan memasukkan motor yang dipak menjadi 15 atau 16 kardus, dan tidak diberitahukan. Kemudian ada 1 atau 2 sepeda Brompton," terangnya.Menurutnya yang terjadi dalam kasus Garuda adalah tindak penyelundupan. Oleh karena itu dilakukan penyidikan dan ditetapkan pihak-pihak yang menjadi tersangka.

Sebetulnya, lanjut Syarif, dalam kasus Garuda jika ada pihak yang mengakui dan memberitahukan adanya barang tersebut, maka prosesnya tidak dilakukan penyidikan, karena diperbolehkan. Namun tidak ada satupun yang mengakui barang tersebut dan tidak ada pernyataan dalam customs declaration, sehingga ditetapkan sebagai upaya penyelundupan.

"Jadi titik krusialnya di pemberitahuan. Jika waktu itu ada yang mengakui 'oh iya pak saya yang bawa' prosesnya akan sama seperti saat ini, kita tahan terus silahkan diurus. Tapi dengan catatan harus memberitahukan. Kalau tidak artinya ada niat dia menyelundupkan. Jadi beda, yang satu masalah administrasi, yang 1 ke arah pidana penyelundupan," tutupnya